Rabu, 30 November 2011

Strukturalisme Genetik

Hippolyte Taine (dalam Taum, 1997: 49) menyatakan, “Karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (moment), dan lingkungan (milieu).” Ketiga hal tersebut mengantarkan pemahaman terhadap iklim suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya sastra. Ras adalah sesuatu yang diwarisi dalam jiwa dan raga seseorang. Saat atau moment adalah situasi sosial politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan atau milieu meliputi keadaan alam, iklim dan sosial.
Konsep-konsep tersebut kemudian dikembangkan lebih sintesis dan ilmiah oleh Goldmann dengan teori strukturalisme genetik (dalam Damono, 1984: 41). Strukturalisme genetik sebagai salah satu teori penelitian sosiologi sastra menumpukan pada sosiologi teks dan sosiologi pengarang. Penelitian dengan strukturalisme genetik hendak mengungkap masalah sosial dalam teks dan integrasi sosial pengarang dalam masyarakatnya yang tercermin dalam teks. Oleh karena itu, penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik selalu mengaitkan antara karya sastra, pengarang sebagai penghasil sastra dan masyarakat pengarang yang mampu mengkondisikan pengarang untuk menulis karya sastra. Karya sastra memang bersumber dalam kehidupan masyarakat, dalam konfigurasi status dan peranan dalam struktur sosial, dan dengan sendirinya menerima berbagai pengaruh sosial.
Goldmann menyebut teorinya sebagai strukturalisme genetik. Artinya ia percaya bahwa sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi, ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra bersangkutan.
Dalam bukunya, Herman J. Waluyo (2006: 93 – 100), menuliskan bahwa untuk menopang teorinya tersebut Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain sehingga membentuk apa yang disebutnya sebagai strukturalisme-genetik di atas. Kategori-kategori itu adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan.
a. Fakta Kemanusian
Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta ini dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra.
Meskipun dapat mempunyai wujud yang bermacam-macam, fakta-fakta kemanusiaan itu pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Fakta yang kedua mempunyai peranan dalam sejarah, sedangkan fakta yang pertama tidak memiliki hal itu. Fakta yang pertama hanya merupakan hasil dari perilaku libidinal seperti mimpi, tingkah laku orang gila, dan sebagainya yang berbeda dari fakta yang pertama.
Goldmann (1970: 588; 1981: 40) menganggap bahwa semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti. Yang dimaksudkannya adalah fakta-fakta itu sekaligus mempunyai struktur tertentu dan arti tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mengenai fakta-fakta kemanusiaan harus mempertimbangkan struktur dan artinya.
Fakta-fakta kemanusiaan dikatakan mempunyai arti karena merupakan respon-respon dari subyek kolektif atau individual, pembangunan suatu percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok bagi aspirasi-aspirasi subjek itu (Goldmann 1970: 583). Dengan kata lain, fakta-fakta itu merupakan hasil usaha manusia mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya (Goldmann 1981: 40).
Dengan meminjam teori psikologi Piaget Goldmann menganggap bahwa kecenderungan di atas merupakan perilaku yang alamiah dari manusia pada umumnya. Menurut Piaget (Goldmann 1981: 61), manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal-balik yang saling bertentangan tetapi yang sekaligus saling isi-mengisi. Kedua proses itu adalah proses asimilasi, dan akomodasi. Di satu pihak manusia selalu berusaha mengasimilasikan lingkungan sekitarnya ke dalam skema pikiran dan tindakannya (Goldmann 1970: 15; 1981: 61), tetapi di lain pihak, usahanya itu tidak selalu berhasil karena berhadapan dengan rintangan-rintangan berikut (Goldmann 1981: 61).
Kenyataan bahwa sektor-sektor kehidupan tertentu tidak menyadarkan dirinya pada integrasi dalam struktur yang dielaborasikan, kenyataan bahwa semakin lama penstrukturan dunia eksternal itu semakin sukar dan bahkan semakin tidak mungkin dilakukan, kenyataan bahwa individu-individu dalam kelompok, yang bertanggung jawab bagi lahirnya proses keseimbangan, telah mentransformasikan lingkungan sosial dan fisiknya sehingga terjadi proses yang mengganggu keseimbangan, telah mentransformasikan lingkungan sosial dan fisiknya sehingga terjadi proses yang mengganggu keseimbangan dalam proses strukturasi itu.
Menghadapi kendala seperti di atas subjek yang bersangkutan akhirnya harus menyerahkan dan melakukan hal yang sebaliknya. ia tidak lagi berusaha melakukan asimilasi terhadap lingkungannya, melainkan mengakomodasikan dirinya pada struktur lingkungan tersebut.
Dalam proses strukturasi dan akomodasi yang terus menerus itulah suatu karya sastra, sebagai fakta kemanusiaan, sebagai hasil aktivitas kultural manusia, memperoleh artinya. Proses tersebut sekaligus merupakan genesis dari struktur karya sastra.

b. Subjek Kolektif (Pandangan Dunia)
Fakta kemanusiaan, seperti telah disinggung, bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil aktivitas manusia sebagai subjeknya. Dalam hal subjek fakta kemanusiaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu subjek individual dan subjek kolektif. Perbedaan itu sesuai dengan perbedaan jenis fakta individual (libidinal), sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial (historis).
Freud selalu menganggap subjek segala hasil perilaku manusia sebagai seorang individu tertentu (Goldmann 1981: 93), menurut Goldmann (1970: 597), anggapan serupa itu sangat serampangan. Tidak semua fakta kemanusiaan bersumber pada subjek individual. Secara intuitif pun seorang dapat mengenal perbedaan antara, misalnya, sebuah revolusi sosial dengan mimpi-mimpi perilaku orang gila. Oleh karena itu usaha mengembalikan fakta yang pertama itu ke subjek individual (libidina) merupakan pemerkosaan terhadap kodrat fakta itu sendiri.
Revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar, merupakan fakta sosial (historis). Individual dengan dorongan libidonya, tidak akan mampu menciptakannya. Yang dapat menciptakannya hanya subjek trans individual (Goldmann 1981: 97); 1970: 588 – 589). Demikian pula fakta seperti pengangkatan batu besar, pembangunan jembata, dan pembuatan jalan. Fakta-fakta serupa itu juga tidak akan pernah merupakan hasil aktivitas subjek individual, melainkan subjek trans individual. Subjek trans-individual adalah subjek yang mengatasi individu, yang di dalamnya hanya merupakan bagian. Subjek trans-individual bukanlah kumpulan individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan, satu kolektif.
Subjek yang demikianlah yang juga menjadi subjek karya sastra yang besar sebab karya sastra semacam itu merupakan hasil aktivitas yang objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok manusia (Goldmann 1981: 97). Karya sastra yang besar berbicara tentang alam semesta dan hukum-hukumnya serta persoalan-persoalan yang tumbuh darinya (Goldmann 1970: 597).
Akan tetapi, subjek kolektif atau trans individual merupakan konsep yang masih sangat kabur. Subjek kolektif itu dapat kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial, dan sebagainya. Untuk memperjelas, Goldmann menspesifikasikannya sebagai kelas sosial dalam pengertian marxis sebab baginya kelompok itulah yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah memengaruhi perkembangan sejarah umat manusia (Goldmann 1977: 99; 1981: 41).

c. Pandangan Dunia: Strukturasi dan Struktur
Dengan teori di atas Goldmann percaya pada adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Akan tetapi, hubungan antara struktur masyarakat dengan struktur karya sastra itu tidak dipahami sebagai hubungan determinasi yang langsung, melainkan dimediasi oleh apa yang disebutnya sebagai pandangan dunia atau ideologi.
Menurut Goldmann (1977: 17), pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkan dengan kelompok-kelompok sosial yang lain. Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya (Goldmann 1977: 18; 1981: 112).
Karena merupakan produk interaksi antara subjek kolektif dengan situasi sekitarnya, pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang lama secara perlahan-lahan dan bertahap diperlukan guna terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama itu (Goldmann 1981: 112).
Proses yang panjang itu terutama disebabkan pula oleh kenyataan bahwa pendangan dunia itu merupakan kesadaran yang mungkin yang tidak setiap orang dapat memahaminya. Dalam hal ini kesadaran yang mungkin dibedakan dari kesadaran yang nyata (Goldmann 1981: 64 – 68). Kesadaran yang nyata adalah kesadaran yang dimiliki individu-individu itu jarang sekali untuk mempunyai kemampuan untuk menyadari secara lengkap dan menyeluruh mengenai makna dan arah keseluruhan dari aspirasi-aspirasi, perilaku-perilaku, dan emosi-emosi kolektifnya (Goldmann 1977: 17). Sebaliknya kesadaran yang mungkin adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah sutu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta (Goldmann 1981: 111). Kesadaran yang demikian jarang disadari pemiliknya kecuali dalam momen-momen krisis dan sebagai ekspresi individual pada karya-karya kultural yang besar (Goldmann 1981: 87).

d. Struktur Karya Sastra
Karya sastra yang besar merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif seperti yang dikemukakan di atas. Oleh karena itu, karya sastra mempunyai struktur yang koheren dan terpadu. Dalam konteks strukturalisme-genetik, seperti yang terlihat dari konsep-konsep kategorial di atas, konsep struktural karya sastra berbeda dari konsep struktur yang umum dikenal.
Di dalam esainya yang berjudul The Epistemology of Sociology (1981: 55 – 74), Goldmann mengemukakan dua pendapat menyenai karya sastra pada umumnya. Pertama, bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Dengan mengemukakan dua hal tersebut Goldmann dapat membedakan karya sastra dari filsafat dan sosiologi. Menurut filsafat mengekspresikan pandangan dunia secara konseptual, sedangkan sosiologi dengan mengacu pada empirisitas. Dari kedua pendapat jelas bahwa Goldmann mempunyai konsep struktur yang bersifat tematik. Yang menjadi pusat dan tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya.
Dalam esainya yang berjudul The Sociology of Literature: Status and Problem of Method (1970: 604) Goldmann mengatakan pada elemen kesatuan pada usaha menyingkapkan struktur yang koheren dan terpadu yang mengatur semesta keseluruhan karya sastra. Setelah berkenalan dengan karya sastra Kristeva, baru ia memikirkan konsep multisiplas tokoh-tokoh yang berada dalam situasi tertentu.
Sifat tematik dari konsep struktur Goldmann itu terlihat pula pada konsepnya mengenai novel (Goldmann 1977a). Dengan mendasarkan diri pada Lukacs dan Girard, Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi. Pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang problematik.
Menurut Goldmann (177a: 1 – 2), yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik itu adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel, nilai-nilai yang mengorganisasi sesuai dengan mode dunia sebagai totalitas. Dengan pengertian tersebut nilai-nilai yang otentik tersebut hanya dapat dilihat dari kecenderungan terdegradasinya dunia dan problematiknya sang hero. Karena itu nilai-nilai itu hanya ada dalam kesadaran penulis/pengarang/novelis, dengan bentuk yang konseptual dan abstrak.
Goldmann mengatakan bahwa novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan itulah yang menyebabkan dunia dan hero menjadi sama-sama terdegradasi dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang otentik yang berupa totalitas di atas. Keterpecahan itu pulalah yang membuat sang hero menjadi problematik.
Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (1977a: 2) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, romantisme keputusasaan, dan pendidikan
Novel jenis pertama disebut ”idealisme abstrak” karena dua hal. Dengan menampilkan tokoh yang masih ingin bersatu dengan dunia, novel itu masih memperlihatkan suatu idealisme. Akan tetapi karena persepsi tokoh tentang dunia bersifat subjektif didasarkan pada kesadaran yang sempit, idealismenya menjadi abstrak (Lukacs, 1978: 98).
Bertentangan dengan novel jenis pertama di atas, novel jenis kedua menampilkan kesadaran hero yang terlampau luas. Kesadarannya lebih luas daripada dunia sehingga menjadi berdiri sendiri dan terpisah dari dunia. Itulah sebabnya, sang hero cenderung pasif dan cerita menjadi analisis psikologis semata-mata. Menurut Lukacs (1978: 112), kenyataan itulah yang menjadi dasar perbedaan antara novel jenis yang pertama dengan yang kedua.
Novel pendidikan berada di antara kedua jenis tersebut. Dalam novel jenis ketiga ini, sang hero di satu pihak mempunyai interioritas, tetapi di pihak lain juga ingin bersatu dengan dunia. Karena mempunyai interioritas, ia menyadari sebab kegagalan (Lukacs 1978: 136). Oleh Lukacs novel pendidikan ini disebut sebagai novel ”kematangan jiwa”.

e. Dialektika Pemahaman-Penjelasan
Yang dikemukakan di atas adalah konsep-konsep Goldmann mengenai karya sastra dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Di antara konsep-konsep itu yang paling langsung berhubungan dengan karya sastra adalah konsep struktur yang berarti. Karena mempunyai struktur, karya sastra harus koheren atau cenderung koheren. Karena mempuyai arti, karya sastra berkaitan dengan usaha manusia memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan sosial yang nyata.
Untuk mendapatkan pengetahuan mengenai karya sastra semacam itu Goldmann kemudian mengembangkan sebuah metode yang disebutnya sebagai metode dialektik. Menurutnya (1977: 8), metode itu merupakan metode yang khas yang berbeda dari metode positivis, metode intuitif, dan metode biografis yang psikologis.
Dari segi titik awal dan titik akhirnya metode dialektik sama dengan metode positivistik. Keduanya sama-sama bermula dan berakhir pada teks sastra. Hanya saja kalau metode positivistik tidak mempertimbangkan persoalan koherensi struktural, metode dialektik memperhitungkannya (Goldmann 1977 : 8).
Prinsip dasar dari metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi di atas adalah pengetahuannya mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintergrasikannya ke dalam keseluruhan (Goldmann 1977: 7). Sehubungan dengan itu, metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu keseluruhan bagian dan ”pemahaman-penjelasan”.
Goldmann (1977: 5), menjelaskan bahwa sudut pandang dialektik mengukuhkan perihal tidak pernah adanya titik awal yang secara mutlak sahih, tidak adanya persoalan yang secara final dan pasti terpecahkan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhannya. Sebaliknya keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta partial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu.
Karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian itu juga tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan, proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak yang melingkar terus-menerus, tanpa diketahui tempat atau titik yang menjadi pangkal ujungnya. Goldmann (1977: 5), berpendapat bahwa:
”.........The advance of knowledge is thus to be considered as a perpetual movement to and fro, from the whole to the parts and from the parts back to the whole again, a movement in the course of which the whole and the parts throw light upon one another.”

Metode semacam itu sesungguhnya tidak berasal dari Goldmann sendiri. Metode itu telah ada jauh sebelumnya dan dikenal dalam masyarakat ilmu pengetahuan sebagai metode lingkaran hermeneutic atau ideologi Jerman (Seung 1982: 171 – 172). Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan salah paham, konsep ”keseluruhan bagian” di atas harus dibuat lebih spesifik dengan menempatkannya dalam kerangka teori Goldmann sendiri.
Seperti telah dikemukakan, Goldmann memandang karya sastra sebagai produk strukturisasi pandangan dunia-dunia sehingga cenderung mempunyai struktur yang koheren. Sebagai struktur yang koheren karya sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian yang lebih kecil. Oleh karena itu pemahaman terhadapnya dapat dilakukan dengan konsep ”keseluruhan bagian” di atas.
Akan tetapi teks karya sastra itu sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya menjadi struktur yang berarti. Dalam pengertian ini pemahaman mengenai teks sastra sebagai keseluruhan tersebut harus dilanjutkan dengan usaha menjelaskan dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar di atas (Goldmann 1970 : 593, 595). Sampai di sini telah dapat dilihat konsep pemahaman-penjelasan Goldmann. Yang dimaksud dengan pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari.
Pada akhir abad 20 khususnya di Barat, feminisme dan pascamodernisme (Goldmann 1970: 589). Sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar (Goldmann 1970: 590). Dengan kata lain, pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian. Sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.
Menurut Goldmann (1970: 602 – 603), teknik pelaksanaan metode dialektik yang melingkar serupa itu berlangsung sebagai berikut. Pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya memberikan tingkat probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia melakukan pencekan terhadap model itu dengan membandingkannya dengan keseluruhan dengan cara menentukan (a) sejauh mana setiap unit yang dianalisis tergabung dalam hipotesis yang menyeluruh, (b) daftar elemen-elemen dan hubungan-hubungan baru yang tidak diperlengkapi dalam model semula, (c) frekuensi elemen-elemen dan hubungan-hubungan yang diperlengkapinya dalam model yang sudah dicek itu.
Metode semacam itu tidak hanya berlaku untuk analis teks sastra, tetapi juga untuk struktur yang menempatkan teks sastra itu secara keseluruhan hanya sebagai bagian. Goldmann (1977: 15) mengatakan bahwa pandangan dunia merupakan kesadaran kolektif yang dapat digunakan sebagai hipotesis kerja konseptual, suatu model bagi pemahaman mengenai koherensi struktur teks sastra.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan struktural genetik selalu mengaitkan antara karya sastra, pengarang sebagai penghasil sastra dan masyarakat pengarang yang mampu mengkondisikan pengarang untuk menulis karya sastra.
TUGAS MANDIRI
Dikumpulkan Minggu Depan

1.Carilah sebuah naskah drama
2.Tulislah sebuah esai, yang berisi tentang analisa dari teks drama yang telah Anda temukan di atas.
3.Isi analisa, berkenaan dengan kritik sosial yang terdapat pada teks naskah drama itu.

Selamat Mengerjakan!